Senin, 27 Juli 2015

Bercadar, Wajib Atau Bid’ah?

Dulu bagaimana sebenarnya hukum cadar dalam Islam? Apakah bid’ah ataukah wajib? Berikut penjelasan & fatwa Syekh Yusuf Qardhawi, Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional, yg sekarang ini bermukim di Qatar.

Menurut Qardhawi, mengidentifikasi cadar juga sebagai bid’ah yg datang dari luar pun sama sekali bukan berasal dari agama & bukan dari Islam, bahkan menyimpulkan bahwa cadar masuk ke kalangan umat Islam terhadap era kemunduran yg parah, tidaklah ilmiah & tak sesuai sasaran. “Identifikasi seperti ini hanyalah wujud perluasan ygmerusak inti persoalan & cuma menyesatkan business buat mencari kejelasan masalah yg sebenarnya,” tuturnya.

Qardhawi mengemukakan, satu faktor yg tak dapat disangkal oleh siapa serta yg mengetahui sumber-sumber ilmu & opini ulama, bahwa masalah tersebut adalah masalah khilafiyah. Artinya, persoalan apakah boleh terhubung wajah atau wajib menutupnya—demikian pun bersama hukum ke-2 telapak tangan yaitu masalah yg tetapdiperselisihkan.

“Masalah ini masihlah diperselisihkan oleh para ulama, baik dari kalangan ahli fikih, ahli tafsir, ataupun ahli hadits, sejak era dulu sampai kini,” ujarnya.

Dikarenakan, lanjut Qardhawi, perbedaan pernyataan itu kembali pada pandangan mereka pada nash-nash yg berkaitan dgn masalah ini & sejauh mana pemahaman mereka terhadapnya, dikarenakan tak didapatinya nash yg qath’i tsubut (jalan periwayatannya) dandalalah (petunjuknya) berkenaan masalah ini. “Seandainya ada nash ygtegas (tak samar), telah pasti masalah ini telah terselesaikan.”

Mereka berlainan pernyataan dalam menafsirkan firman Allah : “…Dan jangan mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yg biasa terlihat daripadanya…” (QS An-Nur : 31).

Menurut Qardhawi, mereka meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud yg menyampaikan bahwa yg dimaksud dgn “kecuali apa yg biasa terlihat daripadanya” yakni baju & hijab, ialahbaju luar yg tak bisa saja disembunyikan.

Mereka pula meriwayatkan dari Ibnu Abbas yg menafsirkan “apa yg biasa tampak” itu dgn celak & cincin. Penafsiran yg sama pun diriwayatkan dari Anas Badan Intelijen Negara Malik. & penafsiran yang nyaris sama lagi diriwayatkan dari Aisyah. Terkecuali itu, kadang-kadang lbnu Abbas menyamakan bersama celak & cincin kepada pemerah kuku, gelang, anting-anting, atau kalung.

Ada pun yg mempunyai anggapan bahwa yg dimaksud dgn “perhiasan” di sini merupakan tempatnya. Ibnu Abbas bicara, “(yang dimaksud merupakan) sektor wajah &telapak tangan.” & penafsiran mirip juga diriwayatkan dari Sa’id Badan Intelijen Negara Jubair, Atha’, & lain-lain.

“Sebagian ulama lagi mempunyai anggapan bahwa sebahagian dari lengan termasuk juga “apa yg biasa tampak” itu. Ibnu Athiyah menafsirkannya dgn apa yg kelihatandengan cara darurat, contohnya sebab dihembus angin atau yang lain,” terang Qardhawi.

Syekh Qardhawi mengemukakan, para ulama serta tidak serupa pernyataan dalam menafsirkan firman Allah : “Hai Nabi, katakanlah terhadap istri-istrimu, anak-anak perempuanmu & istri-isti orang mukmin, ‘Hendaklah mereka, mengulurkan jilbabnya ke semua badan mereka. Yg demikian itu agar mereka lebih enteng buat dikenal,dikarenakan itu mereka tak diganggu. & Allah ialah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab : 59).

Sehingga apakah yg dimaksud bersama “mengulurkan jilbab” dalam ayat tersebut?

Mereka meriwayatkan dari Ibnu Abbas yg adalah kebalikan dari penafsirannya pada ayat mula-mula. Mereka meriwayatkan dari sebahagian Tabi’in—Ubaidah As-Salmani—bahwa dirinya menafsirkan “mengulurkan jilbab” itu dgn penafsiran praktis (dalam wujud peragaan), ialah menutup muka & kepala, & terhubung mata yg sebelah kiri.Begitu pun yg diriwayatkan dari Muhammad Ka’ab Al-Qurazhi.

Tetapi, kata Qardhawi, penafsiran ke-2 tokoh ini ditentang oleh Ikrimah, mantan budak Ibnu Abbas. ia berbicara, “Hendaklah dia(perempuan) menutup lubang (pangkal) tenggorokannya dgn jilbabnya, bersama mengulurkan hijab tersebut atasnya.”

Sa’id Badan Intelijen Negara Jubair berbicara, “Tidak halal bagi perempuan muslimah diliat oleh lelaki asing kecuali beliau mengenakan kain diatas kerudungnya, & dirinyamengikatkannya terhadap kepalanya & lehernya.”

“Dalam faktor ini aku termasuk orang yang menguatkan opini yg mengemukakan bahwa wajah & ke-2 telapak tangan bukan aurat & tak wajib bagi perempuan Muslimah menutupnya. Sebab menurut aku, dalil-dalil pernyataan ini lebih kuat daripada pernyataan lainnya,” terang Qardhawi.

Di Samping itu, lanjut Qardhawi, tidak sedikit sekali ulama era saat ini yg sependapat dgn dia, contohnya Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya Hijabul Mar’atil Muslimah Fil-Kitab Was-Sunnah & mayoritas ulama Al-Azhar di Mesir, ulama Zaituna di Tunisia, Qarawiyyin di Maghrib (Maroko), & banyak dari ulama Pakistan, India, Turki, & lain-lain.

Walaupun begitu, kata Qardhawi, dakwaan (klaim) adanya ijma’ ulama kini kepada pernyataan ini serta tidaklah benar, lantaran di kalangan ulama Mesir sendiri ada ygmenentangnya. “Ulama-ulama Saudi dan sebanyak ulama negara-negara Teluk menentang opini ini, & sebagai tokohnya merupakan ulama akbar Syekh Abdul Aziz Badan Intelijen Negara Baz.”

tidak sedikit serta ulama Pakistan & India yg menentang pernyataan ini, mereka berpendapat kaum perempuan wajib menutup mukanya. & diantara ulama ternama ygberpendapat begitu yakni ulama gede & dai populer, mujaddid Islam yg masyhur, yakni Al-Ustadz Abul A’la Al-Maududi dalam kitabnya Al-HIjab.

Adapun diantara ulama musim sekarang yg tetap hidup yg mengumandangkan wajibnya menutup muka bagi perempuan adalah penulis kenamaan dari Suriah, DR Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, yg mengatakan opini ini dalam risalahnya Ilaa Kulli Fataatin Tu’minu Billaahi (Pada tiap-tiap Remaja Putri yg Beriman pada Allah) .

Di Samping itu, kata Qardhawi, masihlah konsisten saja bermunculan risalah-risalah & fatwa-fatwa dari saat ke kala yg punya anggapan aib kalau perempuan mengakseswajah. Mereka menyeru kaum perempuan dgn mengatasnamakan agama & iman supaya mereka mengenakan cadar, & menganjurkan supaya jangan tunduk pada ulama-ulama “modern” yg mau menyesuaikan agama dgn peradaban mutahir.

“Barangkali mereka memasukkan saya ke dalam group ulama seperti ini,” ujarnya. “Jika dijumpai diantara wanita-wanita Muslimah yg merasa mantap dgn pendapat ini, &beranggapan terhubung wajah itu haram, & menutupnya itu wajib, sehingga dengan cara apa kita bakal mewajibkan kepadanya mengikuti pernyataan lain, yg beliauanggap keliru & tidak sejalan dgn nash?”

Qardhawi menegaskan, “Kami cuma mengingkari mereka apabila mereka memasukkan opininya pada orang lain, & punya anggapan dosa & fasik pada orang ygmengaplikasikan opini lain itu, pun menganggapnya sbg kemunkaran yg wajib diperangi, padahal para ulama muhaqiq sudah sepakat berkaitan tak bolehnya beranggapanmunkar pada masalah-masalah ijtihadiyah khilafiyah.”

Bahkan, kata Qardhawi, jika perempuan muslimah tersebut tak beranggapan wajib menutup muka, namun beliau cuma menganggapnya lebih wara’ & lebih takwa demi membebaskan diri dari perselisihan opini, & ia mengamalkan yg lebih hati-hati, sehingga siapakah yg dapat melarang ia mengamalkan opini yang lebih hati-hati buat dia &agamanya? & apakah patut beliau dicela sewaktu tak mengganggu orang lain, & tak membahayakan kemaslahatan (keperluan) umum & kusus?

Syekh Qardhawi mencela penulis populer Ustadz Ahmad Bahauddin yg posting masalah ini bersama tidak merujuk pada sumber-sumber terpercaya, lebih-lebih tulisannya ini dimaksudkan juga sebagai sanggahan pada putusan pengadilan kusus yg bergengsi. Sementara jika dirinya posting masalah politik, beliau menulisnya dgn cermat, penuh pertimbangan, & dgn pandangan yg menyeluruh.

Boleh menjadi, kata Qardhawi, lantaran dirinya bersandar kepada sebahagian tulisan-tulisan ringan yg tergesa-gesa & sembarang yg membuatnya terjatuh ke dalam kesalahan maka beliau beranggapan “cadar” yang merupakan sesuatu yg munkar, & dikiaskannya dengan “pakaian renang” yg sama-sama tak berikan kebebasan pribadi.

”Tidak satu orang pula ulama dulu & kini yg mengharamkan memanfaatkan cadar bagi wanita dengan cara umum, kecuali cuma terhadap ketika ihram. Dalam factor ini mereka cuma tidak serupa opini antara yg mengatakannya wajib, mustahab, & jaiz,” terang Syekh Qardhawi.

Sedangkan berkaitan keharamannya, tak seseorang juga ahli fiqih yg berpendapat begitu, bahkan yg memakruhkannya serta tak ada. Sehingga Qardhawi mengaku amat sangat heran terhadap Ustadz Bahauddin yang mengecam sebagian ulama Al-Azhar yg mewajibkan menutup muka (cadar) juga sebagai sudah mengharamkan apa ygdihalalkan Allah, atau juga sebagai opini orang yg tak mempunyai kemajuan & wawasan yg mendalam berkenaan Al-Qur’an, As-Sunnah, fiqih, & ushul Fiqih.

“Kalau hal tersebut cuma sekadar mubah, sama seperti pernyataan yg aku memilih, bukan wajib & bukan pun mustahab, maka ialah hak bagi muslimah utkmembiasakannya, & tak boleh bagi seseorang utk melarangnya, lantaran dia hanya jalankan hak pribadinya. Lebih-lebih, dalam membiasakan atau mengenakannya itu takmerusak sesuatu yg wajib & tak membahayakan seorang,” jelas ulama lulusan Kampus Al-Azhar Mesir ini.

Qardhawi menyitir suatu pepatah Mesir yg menyindir orang yg bersikap begitu, “Seseorang bertopang dagu, kenapa kamu kesal terhadapnya?”

Hukum buatan manusia sendiri, lanjut beliau, mengakui hak-hak perseorangan ini & melindunginya. Gimana kemungkinan kita dapat mengingkari perempuan muslimah ygkomitmen kepada agamanya & hendak menggunakan cadar, sementara diantara mahasiswi-mahasiswi di perguruan tinggi itu ada yang mengenakan baju mini, slim,menempa potongan tubuhnya yg mampu memunculkan fitnah (rangsangan), & memanfaatkan bermacam-macam make-up, tidak dengan seseorang serta ygmengingkarinya, sebab dianggapnya yang merupakan kebebasan pribadi.

“Padahal baju tidak tebal, yg menampakkan kulit, atau tak menutup bidang badan terkecuali wajah & ke-2 tangan itu diharamkan oleh syara’ begitu menurut kesepakatan kaum Muslim,” ujarnya.

Syekh Qardhawi mengaku heran, kenapa wanita-wanita yg berpakaian tapi telanjang, yg berlenggak-lenggok & bergaya buat memikat orang lain terhadap kemaksiatan dibebaskan saja tidak dengan ada satu orang pula yang menegurnya? Selanjutnya mereka tumpahkan semua kebencian & celaan pula caci maki kepada wanita-wanita bercadar, yg berkeyakinan bahwa hal tersebut termasuk juga ajaran agama yg tak boleh disia-siakan atau dibuat sembarang?

“Kepada Allah-lah kembalinya segala urusan sebelum & setelahnya. Tak ada daya utk menjauhi kemaksiatan & ga ada kemampuan buat melaksanakan ketaatan kecualibersama bantuan,” tandasnya.

Sumber : Muslimahcorner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar